Tiga Komunitas Indonesia Yang Mendapatkan Penghargaan Dunia


Tiga Komunitas Indonesia Yang Mendapatkan Penghargaan Dunia

KomunitasExp. - Tiga komunitas lokal dari Indonesia sukses memenangkan penghargaan pelestarian lingkungan tingkat internasional, Equator. Ketiganya yaitu komunitas Kebiasaan Muara Tae, Komunitas Orang-orang Kebiasaan Dataran Tinggi Borneo (Formadat), serta komunitas Perduli Lingkungan Belitung (KPLB).
Pengumuman 21 pemenang Penghargaan Equator sebenarnya sudah ditunaikan akhir th. lantas di Paris, Perancis, kala di gelar Konferensi Perubahan Iklim (COP21). 

Masuknya tiga perwakilan Indonesia dalam daftar pemenang penghargaan jadi kebanggaan sendiri karna 18 komunitas beda yang memenangi penghargaan ini datang dari 16 negara berlainan. Artinya, rata-rata negara cuma diwakili oleh satu komunitas. Cuma Indonesia yang miliki tiga wakil di daftar pemenang. 

Penghargaan Equator diberi pada komunitas lokal serta orang-orang kebiasaan di semua dunia yang jalankan beragam ide dalam beri dukungan pembangunan berkepanjangan. Komunitas-komunitas itu menggapai penghargaan atas peranan mereka di garda paling depan dalam jalankan konservasi lingkungan, pengentasan kemiskinan, perlakuan perubahan iklim. 

Usaha keras tiga komunitas Indonesia peraih Penghargaan Equator dalam melindungi kelangsungan hidup orang-orang serta alam, memperoleh animo tinggi dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). 

UNDP memberikannya penghargaan pada ketiganya tempo hari yang diserahkan segera oleh Country Director UNDP di Indonesia Christophe Bahuet, Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Stig Traavik, serta Sustainable Development Goals (SDGs) Mover UNDP Indonesia Reza Rahardian. 

Petrus Asuy, perwakilan dari komunitas Kebiasaan Muara Tae, menyebutkan menggapai Penghargaan Equator begitu besar punya arti karna dapat jadi contoh untuk daerah beda dalam buat perlindungan serta membuat kembali hutan-hutan yang di lebih kurang mereka.

Perjuangan berat

Petrus menceritakan, lebih kurang 7 ribu hektare rimba di lebih kurang Desa Muara Tae sudah lenyap karna digusur perusahaan sawit serta pertambangan. Akibatnya, berlangsung rusaknya lingkungan yang makin kritis, termasuk juga hilangnya dua mata air paling utama serta tertutupnya sungai-sungai di lebih kurang desa. 

" Bila mencari binatang buruan umumnya gampang, tapi saat ini sulit karna binatang lari ke mana ada rimba, " tutur Petrus di Kantor UNDP, Jakarta Pusat. 

Kerugian-kerugian tersebut yang seterusnya mendorong Petrus untuk berjuang menyelamatkan rimba kebiasaan dari penebangan rimba, pertambangan, serta perusahaan kayu ilegal. Sampai sekarang ini orang-orang Muara Tae masih tetap berjuang untuk memperoleh pernyataan hukum atas tanah kebiasaan mereka. Di dalam perseteruan itu, komunitas ini sukses menanam kembali 700 hektare lahan rimba mereka. 

Sementara aktivis lingkungan dari komunitas Perduli Lingkungan Belitung (KPLB), Budi Setiawan, menyebutkan kalau dengan meraih Penghargaan Equator, punya arti tanggung jawab yang ia pikul jadi semakin besar. 

Segera sesudah kembali dari Perancis th. lantas, kata Budi, dia bersama-sama dua pemenang yang lain segera berkunjung ke beberapa sekolah serta universitas untuk bicara masalah gosip perubahan iklim. 

Mereka beberapa besar tahu apakah itu perubahan iklim, tapi dikala di tanya bagaimana aksi yang pas untuk mecegah perubahan iklim, mereka kebingungan. Jadi mereka mesti diberitahu sekali lagi masalah kesadaran, 

Budi bersama-sama komunitasnya di kira berhasil merehabilitasi serta buat perlindungan rimba tropis, tingkatkan keberlangsungan hidup, juga merestorasi ekosistem laut serta pasir. Hal itu ditunaikan dengan membuat gagasan konservasi laut regional serta lima pulau konservasi penyu –tempat 12 ribu bayi penyu sukses dilepaskan ke laut dalam lima th. paling akhir. Diluar itu, komunitas ini dapat menanam kembali 45 ribu bakau. 

Lewi Gala Paru, perwakilan dari Komunitas Orang-orang Kebiasaan Dataran Tinggi Borneo (Formadat), bertutur kalau Penghargaan Equator jadi pendorong supaya ke depan komunitasnya dapat lebih kreatif dalam melindungi lingkungan. Sampai kini Formadat sukses menghasilkan beragam komoditas organik seperti beras, sayuran, buah-buahan, serta kopi. 

Semuanya product kami tiada yang terkontaminasi pupuk atau kimia yang lain. Mereka subur karna tanahnya memanglah subur. Bahkan juga dalam menangani hama juga kami dengan tradisionil, " tutur Lewi. 

Lewi menuturkan, Formadat adalah orang-orang kebiasaan lintas batas yang mencakup sebagian subkabupaten di Indonesia serta Malaysia, yakni Sarawak (Bario, Ba'kelalan, serta Long Semadoh), Sabah (Long Pasia), serta Kalimantan Timur (Krayan serta Krayan Selatan). 

Tetapi Lewi mengungkap rasa kecewanya karna cuma dapat pasarkan beberapa produk organiknya ke Malaysia serta Brunei Darussalam, tidak Indonesia. Ia menyebutkan, akses warga Krayan serta Krayan Selatan untuk jual produknya lebih gampang ke ke-2 negara tetangga itu dari pada ke negeri sendiri. 

Kami cuma dapat jual ke Malaysia serta Brunei karna dapat di jual segera, distribusi memakai jalur darat. Sedang bila ingin jual kedalam negeri, tiada akses jalur darat, cuma jalur udara yang biayanya mahal. Jadi keuntungan yang kami terima lebih sedikit di banding bila di jual ke Malaysia serta Brunei, " kata dia

0 comments:

Post a Comment